Kisah
ini adalah kisah kutipan, sumber kisah ini dikabarkan adalah kisah
nyata. Namun, karena tidak ada penjelasan secara detail dengan kisah
ini, maka saya pribadi menganggap ini hanya sebuah hiburan, demikian ini
dikutip dari.
Minggu pagi itu setelah beribadah di Pura aku memutuskan untuk menziarahi makam temanku di daerah Jawa, Tanggerang. Setelah menaburkan bunga segar dan air mawar aku mendoakan.Saat aku memutuskan untuk pulang mataku sempat melihat kuburan yang penuh dengan semak-semak yang sudah tidak terawat lagi.

Minggu pagi itu setelah beribadah di Pura aku memutuskan untuk menziarahi makam temanku di daerah Jawa, Tanggerang. Setelah menaburkan bunga segar dan air mawar aku mendoakan.Saat aku memutuskan untuk pulang mataku sempat melihat kuburan yang penuh dengan semak-semak yang sudah tidak terawat lagi.
Aku
menghampiri penjaga makam yang sedang duduk menikmati kopi hangat dan
kue pancong. “Permisi, kang! Mau tanya, kenapa semua makam di sini
terawat dengan baik tapi kenapa makam yang satu itu tidak terawat?”
tanya aku sempat heran.
Penjaga makam itu menghela nafas berat. “Neng, mau dengar kisahnya?” Lalu Aku mengangguk. “Iya” Kataku penasaran, lalu penjaga kuburan itu pun mulai bercerita.
Nama
gadis itu Anisa. Biasanya di panggil Nisa usianya baru 19 tahun.
Wajahnya cantik. Kulitnya putih dan rambutnya panjang hitam sepinggang.
Setiap pria yang meliriknya menjadi suka. Tak ada yang menduga
kecantikan yang dia miliki menjadi malapetaka untuknya.
Banyak
pemuda yang jatuh hati, namun ada pula yang sakit hati karena cintanya
tidak di terima oleh Nisa. Nisa hanya berasal dari keluarga yang
sederhana. Orang tuanya telah lama meninggal dunia. Ia hidup bersama
kedua kakaknya.
Kakaknya
yang pertama laki-laki bernama Ujang, dan pekerjaannya hanyalah seorang
nelayan. Sedangkan kakak yang kedua bernama Fitri ia mengalami cacat
fisik kehilangan tangannya sejak lahir.
Namun
kemiskinan tidak membuat Nisa putus asa. Setelah tamat SMA ia berpikir
untuk membantu kakaknya yang pertama bekerja. Nisa bersyukur di terima
kerja di Moon Hospital sebagai Office Girl. Walaupun penghasilannya
tidak besar. Tapi setidaknya ia bisa sedikit meringankan uang yang di
perolehnya kepada Fitri, yang sangat menyayanginya.
“Uangmu,
sebenarnya untuk keperluanmu saja, Nisa.” Kata Fitri. Tapi Nisa selalu
keras kepala jika ia ingin membantu meringankan kebutuhan dapur. Melihat
adik yang tulus membantu. Kedua kakaknya selalu bersyukur. Suatu hari
Ujang bertanya kepada Nisa.
“Apakah
kamu tidak kepikiran untuk punya pacar?” Nisa menjawab dengan
tersenyum. “Nisa belum kepikiran sampai kesana” kata Nisa dengan
suaranya yang lembut.
Suatu
sore Ujang, Fitri dan Nisa sedang menikmati pisang goreng dan teh manis
hangat buatan Nisa. Mereka bertiga bingung dengan kedatangan Lucky dan
ibunya kerumah. Kedua tamu itu berpakaian sangat rapi seperti mau
menghadiri hajadtan. Tapi begitu tahu maksud kedatangan mereka. Ujang,
Fitri dan Nisa terkejut. Tapi yang paling terkejut adalah Nisa.
“Niat
kami kesini untuk melamar neng Nisa menjadi menantu kami.” Mendengar
penuturan ibu Lucky tentu membuat Ujang dan Fitri sangat bahagia
menerima lamaran itu. Tapi tidak dengan Nisa.
“Nisa
belum kepikiran untuk menikah. Nisa ingin kuliah untuk mewujudkan
cita-cita menjadi perawat. Karena itu Nisa bekerja dan untuk meringankan
beban keluarga.” Kata Nisa menolak dengan halus.
Ucapan
Nisa tentu membuat Lucky kecewa. Namun Ibu Lucky merayu Nisa supaya
menerima lamaran Lucky. “Kalau neng mau kuliah mudah. Setelah menikah,
ibu akan menjual sebagian tanah peninggalan almarhum ayah Lucky untuk
membiayai kuliah neng Nisa.” Kata Ibu Lucky.
“Akang
pun akan membantu kehidupan kedua kakakmu.” Kata Lucky tegas. Lucky
sebenarnya pemuda yang cukup tampan. Sangat serasi bila bersatu dengan
Nisa. Mendengar rayuan dari ibunya dan Lucky. Nisa hanya diam.
“Aku
merasa kang Lucky bukan jodohku.” Hati Nisa berontak. “Semuanya kakak
serahkan padamu, Nisa! Kami sebagai kakak hanya bisa mendoakan yang
terbaik untuk kamu.” Kata Fitri.
Nisa merespon dengan menggeleng lemah. Menunjukan kalau dia benar-benar belum ingin menikah.
Prilakunya
membuat Lucky kecewa. “Ya sudah, Lucky mungkin neng Nisa belum mau
menikah. Pernikahan tidak bisa di paksakan.” Kata ibu Lucky menasehati.
Lucky merasa sangat malu. Ia memandang Nisa penuh dendam.
Sebenarnya
Nisa mengenal Lucky. Pria itu bekerja di tempat yang sama seperti Nisa,
bedanya Lucky menjadi supir ambulance di Moon Hospital sedangkan Nisa
menjadi Office Girl. Sikap urakan lucky yang suka mengganggu wanita
membuat Nisa tidak suka. Ia pun tidak menduga kalau Lucky tiba-tiba
datang melamarnya.
Kejadian
Nisa menolak Lucky ternyata membuat Lucky patah hati dan ingin memberi
pembalasan terhadap Nisa. “Kalau akang tidak bisa menjadikan neng Nisa
istri maka orang lain pun tidak akan bisa.”
Minggu
demi minggu berlalu, kejadian penolakan itu di pikirkan biasa oleh Nisa
dan kedua kakaknya. Nisa pun seperti biasa melakukan aktifitasnya
sebagai Office Girl di Moon Hospital. Yang jaraknya 2 km dari tempat
tinggalnya.
Tapi
hingga suatu hari. Ada peristiwa yang membuat kedua kakak Nisa
khawatir. “Hingga larut malam kenapa, Nisa belum juga pulang?” tanya
Fitri cemas. “Ujang pergilah kamu mencari Nisa” kata Fitri lagi.
“Dimana
kamu, Nisa?” pikir Ujang ketika tiba di Moon Hospital tempat Nisa
bekerja. Ujang kemudian mencari tahu kerumah Bunga sahabat Nisa. “Waduh,
kang sih Nisa sudah pulang dari jam 08:00 malam tadi.” Kata Bunga.
“Lalu kemana perginya si Nisa?” batin Ujang dengan Khawatir.
Ternyata
sampai pukul 12:00 malam Nisa tidak juga pulang. “Kang Asep, akang ada
melihat Nisa? Sudah jam segini Nisa belum juga pulang.” Kata Ujang yang
menghampiri Asep ke pos ronda.
“Akang
juga tidak melihat si neng Nisa. Memang pergi kemana?” “Dari tadi
pulang kerja belum pulang ke rumah. Saya sudah mampir ketempat kerjanya,
kerumah temannya. Tapi, tidak ada.” Ujang menjelaskan.
“Nisa
tidak pernah berprilaku seperti ini. Biasanya ia pulang ke rumah tepat
waktu.” Kata Ujang semakin cemas. Warga setempat yang kasihan pun terus
menghampiri niat untuk bantu mencari. “Aneh, semua orang sudah membantu
mencari ke semua tempat, bahkan sampai ke sanak saudara pun sudah di
kunjungi, bahkan rumah sahabatnya juga. Tapi Nisa juga tidak ditemukan.”
Kata salah satu tetangga yang mencari Nisa.
“Lebih
baik kita adukan kejadian ini ke polisi, Jang.” Kata kepala desa
setempat kepada Ujang. Dengan di temani oleh beberapa warga. Ujang
melaporkan kejadiaan menghilangnya adiknya ini.
“Kami
dari pihak kepolisian belum bisa bertindak karena belum ada yang di
curigai membawa kabur Nisa.” begitulah saat Ujang melaporkan kepihak
berwajib.
Tiga
hari setelah menghilangnya Nisa, desa itu mendadak menjadi heboh. Nisa
telah di temukan. Tapi kondisinya sudah tidak bernafas. Menerima
peristiwa ini, sulit di bayangkan hancur dan sakit hati kedua kakaknya.
“Adik
yang begitu ku sayangi ternyata di temukan tewas dalam kondisi
menggenaskan.” Kata Fitri di balik isak tangisnya. Badan Nisa penuh
dengan luka tusukan, lehernya terjerat seutas kawat dan yang lebih
ironis waktu di temukan tubuh Nisa dalam keadaan tanpa busana.
Fitri
berulang kali pingsan karena tidak tega melihat kematian adiknya yang
tradis itu. “Siapa manusia laknat yang membunuh Nisa dengan cara biadab
ini?” Kata Ujang tak tahan membendung air matanya Ujang yakin Nisa di
perkosa sebelum di bunuh.
Mayat
Nisa di temukan oleh seorang nelayan, yang saat itu mau mengikat
perahunya, ia terkejut melihat sesosok mayat dalam posisi tengkurab
mengambang di laut, sedangkan tangannya dan kakinya terikat seutas tali.
“jelas, Saudara Nisa korban pemerkosaan dan pembunuhan sadis” kata
salah satu polisi.
Berita tentang kematiaan Nisa menyebar.
“Bayangkan
seorang perawan desa meninggal dalam keadaan tragis.” Kata pembawa
acara berita yang ada di televisi. Kejadian tradis itu menjadi
pembicaraan warga. Saat sanak family sedang tekun zikir di dalam
tahlilan, sembunyi-sembunyi Ujang pergi meninggalkan rumah menjumpai
seseorang di dekat laut. Orang itu memang hidup sendiri, jauh dari
perkampungan, karena ia sudah lama di usir.
Orang
tersebut menguasai dunia ilmu hitam, dan semua orang membencinya. Saat
berdiri di muka pintu, Ujang memberi salam. Dari dalam keluar nenek tua
berbadan kurus yang di ketahui dengan sebutan nenek Siti.
“Masuklah!”
kata nenek Siti mempersilahkan Ujang masuk. “Aku mengerti kamu telah di
tinggalkan adik tercintamu. Kamu pasti penasaran siapa yang telah
melakukan perbuatan biadab itu, dan ingin menuntut balas, bukan?” terka
nenek Siti, seakan-akan nenek Siti dapat mengetahui maksud kedatangan
Ujang.
Ujang
terhentak ketika mengetahui kekuatan nek Siti. Betul kata orang kampung
nek Siti bukanlah orang biasa. “Iya, nek, saya mau orang-orang laknat
itu mati dengan tragis, seperti mereka menghabisi nyawa adik ku.”
Nek
Siti menghela nafas berat. Sambil membuang nafasnya perlahan – lahan,
nek Siti kembali membuka matanya. “Nenek melihat adikmu di perkosa dan
di bunuh oleh empat orang pemuda. Satu di antaranya pria tampan, dan
tiga orang lagi sepertinya orang suruhan, tapi dalang dari semua ini
ialah pria tampan itu.” Ucapnya dengan sorot mata merah melotot
memandang Ujang.
Seluruh
badan Ujang gemetar. Ia coba membayangkan dalam dirinya bagaimana
penderitaan Nisa adik tersayangnya mencoba melawan biadab-biadab itu.
Tanpa di rasakannya air matanya jatuh menetes. “Apa rencana mu? Mau di
bunuh saja para pemerkosa dan pembunuh adikmu itu?” Tanya nek Siti
sambil tertawa.
Buatnya,
menghabisi nyawa orang seolah-olah kegiatan yang sangat menggembirakan.
Ujang mengiyakan penuh amarah dan dendam. Untuknya tidak ada hal lain
selain menuntut balas akan kematiaan Nisa adiknya. “Saya mau mereka
semua mati, nek” cetusnya penuh dendam.
Malam
itu tepatnya malam jumat kliwon, setelah terjadi perjanjian rahasia
antara Ujang dengan nenek Siti. Mereka berdua pergi meninggalkan gubuk
nenek Siti di tengah pesisir pantai itu. Keduanya melangkah menjelajahi
kegelapan malam.
Lokasi
yang di tuju adalah tempat tanah pemakaman umum. Bulan yang cantik
mengumpat di balik awan. Langit terlihat gelap tanpa di temani bintang.
Dan, malam yang sunyi itu, tidak ada satu pun orang yang mengetahui apa
yang akan di kerjakan nenek Siti dan Ujang di tempat yang terkesan
angker itu.
Lolongan
serigala di kejauhan yang sepertinya memberi sambutan selamat datang
untuk mereka di tempat pemakaman umum itu. Gundukan tanah di mana Nisa
di makamkan masih terlihat merah dan basah.
Nisan
yang mengukir namanya masih tampak jelas. Bunga segar yang menyelimuti
tanah merah itu masih mengeluarkan aroma yang wangi. Tubuh Ujang terasa
gemetar. Ia bersujud di depan pusara Nisa seakan tak bisa membendung
tangisannya ia menangis sejadi-jadinya.
“Hentikan
tangisan mu dulu, Ujang! Kita masih ada kegiatan yang perlu di
lakukan!” ucap nenek Siti. Matanya yang melotot dingin melihat nisan
Nisa yang diam. Di dalam kegelapan malam nenek Siti memandang Ujang.
“Kamu
kesinikan tangan kirimu, buruan Ujang!” tuturnya. “Untuk apa, nek saya
harus memberikan tangan kiri saya?” pikir Ujang bingung. Maka saat itu
“Crassss..” Nenek Siti menggigit jempol Ujang dengan giginya. Ujang
terkejut sesaat. Dan darah kental menetes dari jempolnya yang luka.
“Apa
yang nenek lakukan?” Nenek Siti menekan jempol Ujang supaya darah
kental itu mengalir dan menetes menyirami makam Nisa. “Aduh. sakit,
nek.” Kata Ujang meringis dan menahan sakit. “Rasa sakit yang kamu
rasakan sama sekali tidak sebanding yang adikmu alami dan rasakan.
Paham” gertak nenek Siti.
Ujang
tidak menyadari ayat yasin sedang bergema di rumahnya melantunkan doa
untuk Nisa yang sudah berada di surga tapi di malam jumat kliwon ini ia
dan seorang nenek yang menganut aliran sesat sedang melakukan ritual
untuk menuntut balas.
“Hanya
karena ingin menuntut balas aku mau melakukan jalan sesat ini.” Sambil
terus menekan jempol Ujang, nenek Siti membaca mantra. Lalu keanehan
terjadi dan membuat Ujang takut serta bingung. “Mengapa, nek tetesan
darah yang menetes ke kubur adikku mengeluarkan asap?” Nenek Siti
tertawa. Suara tawanya terdengar begitu sangat menyeramkan.
“Ayo,
mari pulang! Biarkan adikmu sendiri yang menuntaskan dendamnya pada
pembunuh dan pemerkosanya yang laknat itu.” Ucapnya sesaat, menarik
tangan Ujang yang masih terdiam di depan nisan Nisa.
Angin
bertiup sangat kencang menggoyangkan pohon. Dedaunan pun terlihat
berguguran. Petir bergema rintik demi rintik hujan mulai turun dan dalam
waktu dingkat sudah membasahi bumi dan makam Nisa. Kekuatan gaib sudah
menguasai makam Nisa. Ujang masih terpana di depan makam. Padahal ia
sadar angin semakin kencang dan hujan semakin deras membasahi tubuhnya
dan nenek Siti.
Matanya
nanar menatap gundukan tanah merah kuburan yang mulai basah. Kuburan
beranjak turun naik seakan ada yang mendorong dari dalam. “Lekas, Ujang!
Jangan kamu tengok lagi makam adikmu. Biarkan Nisa yang menuntut balas
akan kematiannya itu.” Kata nenek Siti.
Dan
suara serigala terdengar melolong lagi. Menambah suasana mistis di
malam keramat itu. Nenek Siti menarik paksa lengan Ujang. Tapi Ujang
tetap nekat bertahan. “Lekas Ujang! Kita musti kabur! Rohnya sangat
ganas dan tidak mungkin di hentikan!”
“Apa
yang nenek lakukan terhadap Nisa?” kata Ujang bingung. Nenek Siti
kelihatan marah. “Sudah aku bilang, Nisalah yang akan menyelesaikan
dendamnya. Kalau kita tidak segera kabur kita akan menjadi korbannya
juga”
Dan
mereka pun pulang, setelah beberapa hari kini kisah misteri balas
dendam pun dimulai. Saat itu Lucky habis mengantarkan mayat korban
kecelakaan ke rumah duka di daerah jakarta selatan.
Karena
merasa lelah iya sengaja memarkirkan Ambulancenya di pinggir jalan yang
agak sepi. Dan hanya dalam waktu sebentar ia sudah tertidur lelap. Baru
setengah jam tertidur ia terbangun tubuhnya penuh keringat. Ia
mengalami mimpi buruk tubuhnya yang kaku seperti mayat di kerubungi
banyak lalat dan belatung.
“Pertanda
apa ini?” Matanya melihat jam di tangannya tepat pada jam 12:00 malam.
Ia beranjak turun berharap warung kopi di seberangnya masih buka. Udara
malam terasa sangat dingin dan membuat Lucky semakin ngantuk.
Tiba-tiba.
Angin bertiup semakin kencang dan Lucky kedinginan. “Sial, tutup lagi.”
Pekiknya kesal. “Hah” katanya. Lucky terkejut melihat pintu belakang
ambulance dalam keadaan terbuka. Ia bergegas mau menutupnya. Tapi suara
wanita yang lembut membatalkan niatnya. “Sendirian aja, bang?”
Lucky
menoleh ke belakang dan melihat sosok penampakan yang mengerikan dan
amat menyeramkan. Balutan kain kafan menutupi tubuh penampakan itu.
Rambutnya panjang sepinggang dan seluruh tubuhnya di kumuri darah dan
nanah yang berbau busuk. Penampakan itu menghampirinya.
“Ja..
ja.. jangan …!” Lucky berteriak ketakutan. Ia menjauh tapi tangan yang
berkuku panjang itu dengan cepat menangkapnya dan membawanya ke
hadapannya. Tangan-tangan itu menusuk jantung Lucky seakan-akan ia tahu
itulah pusat yang membuat Lucky hidup. Lucky tewas tanpa mengeluarkan
suara.
Sejak
peristiwa itu, roh Nisa terus bergentayangan menemani kesunyian malam
setelah seratus hari kematiannya. Ia menemui orang-orang yang sayang
kepadanya. Saat menemui Adik dan kakaknya mereka langsung tidak sadarkan
diri.
Penampakannya
sangat menyeramkan. Wajahnya yang cantik dan selalu ceria kini pucat
dan tatapan matanya yang dulu berbinar kini tampak sendu. Tubuhnya pun
masih berbalut kain kafan putih yang penuh lumpur.
Warga
di sana sangat ketakutan. Setiap malam jumat mayat yang di hidupkan
untuk membalas dendam itu menemui keluarga dan sahabatnya. Menurut
penglihatan beberapa warga yang secara tidak sengaja melihatnya.
Roh
perawan itu selalu menangis sambil terbang keliling kampung. Ada juga
para nelayan yang mendengar rintihan dan lolongan minta tolong saat
mereka mau mengikat perahunya di tempat mayat Nisa di temukan. Tapi tak
ada satu pun yang berani menolong mereka hanya mampu mendengar setelah
itu lari terbirit-birit.
Sekalipun
Nisa sudah menuntut balas tapi mayatnya masih tetap berkeliaran di
malam yang sunyi. Ia seolah-olah masih belum bisa menerima wafatnya yang
menjemputnya tiba-tiba di saat ia masih ingin mewujudkan semua impian
mulianya untuk menjadi seorang perawat.
Tapi
aku merasa yang paling harus di salahkan atas keganjilan ini adalah
nenek Siti yang sekarang entah ada dimana. Setelah satu tahun roh gadis
cantik ini menghilang. Tapi hingga kini kejadian menggenaskan itu masih
melekat di hati penjaga makam yang menceritakan kisah ini padaku.
Kejadian
naas itu telah berlalu 24 tahun. Dan sekarang kuburan Nisa tidak
terawat lagi. Kedua kakaknya telah lama meninggal, sementara familynya
yang lain sudah pindah entah kemana